rasanya.. ya sedih, kenapa hal itu harus dikeluarkan disaat emosiku sebenarnya juga sedang menggembung dan siap meledak. Kenapa pas banget saat aku mau pergi survey? Dalam hatiku ga bisa ditunda ya sampe aku pulang survey? Sebelum dia menyatakan untuk hidup masing-masing dan saling tidak ketergantungan, aku sudah berpikir kita memang sudah seharusnya mulai belajar menjauh. Tapi.. aku tidak menyangka ini terjadi seperti bom. Aku akui aku overreacting, overthinking saat dia mulai menyinggungku dengan kata-katanya. Saat dia bilang ga mau di gitu-gitu lagi karena kata-kataku pada malam sebelumnya bilang aku sedih saat dia lama merespon dan responnya ga nyambung. Seperti aku yang berusaha untuk ada dan menanggapi kata-katanya, dan aku merasa apa yang aku katakan itu bagai angin lalu, yang mostly saat aku mengutarakan sesuatu dia malah membuka topik yang lain tentangnya. Aku merasa tidak dilihat ada.
Iya, memang timing yang tidak tepat kurasa sampai semuanya meledak seperti itu. Dan juga aku bukan siapa-siapa yang bisa menuntut. Aku hanya mau jujur apa yang aku rasa. Karena kan aku juga manusia yang bisa senang bisa sedih, kalau dia ga mau dengar dan terima rasa sedihku, apakah aku harus pakai topeng terus dan berpura-pura bahagia?
Dia dari dulu setiap ada masalah selalu minta aku mikir, mikir, mikir. sebenarnya, aku tipe orang yang akan mengoreksi diriku sendiri, jika diberikan waktu. Tapi kalau dengan perintah “mikir! Mikir! Mikir!” Aku merasa terpojokan seperti penjahat. Aku merasa segala yang aku lakukan ke dia selalu salah dan ga beres. Seperti aku merasa tidak ada hal baik dan beres yang aku lakukan untuk dia. aku merefleksikan tindakanku, yang jika ku tuliskan dalam poin sebagai berikut:
- Aku terlalu attached ke dia. Aku tidak tergantung tindakan, aku bisa melakukan banyak hal segala mandiri, aku terikat secara perasaan yang merasa dia adalah tempat teraman untuk aku cerita, muara yang buat aku bisa melupakan penatku sesaat yang kadang kalau aku mau cerita sedih jadi lupa mau cerita pas ketemu dan main bareng
- Aku overthinking dari kata-kata dia apalagi saat dia bilang aku untuk menjauh dan masing-masing, yang selanjutnya ditambahkan karena kata-kataku. Kalau kita mau beradu argumen hitung-hitungan kesalahan tentu kita tidak ada titik temu. Saat itu aku akui aku berlebihan dan bereaksi karena ucapan dia, karena rasanya semua bertumpuk dan bertumbuk dari tumpukan kecemasanku untuk pergi survey, perasaan yang sudah berhari-hari menumpuk dan tidak tersalurkan, saat ditambah sentilan itu menjadi meledak tidak terkendali
- Aku menyudutkan dia dari segala arah. Aku tidak bisa membendung luapan emosiku. Semuanya terasa sesak dan kumerasa tidak adil
- Saat emosiku memuncak, aku sering mengungkit dan menarik sakit hatiku ke dia dimasa lalu. Aku seketika menjadi ahli sejarah. Menyebutkan hal berulang yang sudah lalu
- Aku berkata kasar dan sarkas. Kurasa ini menyakiti harga dirinya
- Aku menyerang dia dari berbagai sudut
- Aku berkata berkali kali lipat dari yang dia katakan
- Aku mudah curiga dia dekat dengan mantannya. mungkin memang dari awal hubungan kami dulu ini jadi trust issue untukku.
Mungkin ada lagi, coba aku pikirkan dulu lebih dalam. Aku ngantuk mari tidur dengan lebih tenang.
Oh iya kemarin aku lihat postingan orang tentang zhalim ke diri sendiri yang buatku berpikir segala yang ada ditubuhku itu bukan milikku, termasuk badan, hati/ perasan dan otakku untuk berpikir. Jadi kalau ini bukan milikku, apa wewenangku untuk membuat mereka sakit dan sedih? Ini membuatku lebih lega
Komentar
Posting Komentar