Banyaknya kesamaan dan tawa yang aku
dan kamu miliki dan berbagai rasa yang sempat saling berbagi, membuat aku
mengira kamu adalah potongan hati pelengkap milikku. Namun aku lupa satu hal,
untuk dapat melengkapi satu sama lain, yang aku butuhkan bukanlah bentuk
potongan yang sama, melainkan potongan yang saling menggenapi kekosongan yang
aku punya dan begitupun aku yang dapat mengisi kekosongan yang kamu punya. Kita
telah mencoba dalam skala waktu yang semakin lama semakin membuat aku dan kamu
saling terluka, dalam pemaksaan untuk menyatukan potongan itu. Hingga akhirnya
kita menyadari usaha kita lama kelamaan hanya akan merusak potongan hati yang
kita punya, entah itu patah, sobek, retak ataupun memar. Semakin kita mencoba,
semakin kita melukai satu sama lain hingga rasanya benturan kecil akan membuat
retak menjalar dengan rapuhnya untuk saling menggugurkan.
Malam itu, saat tangis antara aku
dan kamu saling tertahan. Saat aku dan kamu butuh untuk saling menguatkan dan
berkata,
“Gapapa,
it’s okay, jangan sedih,”
Sungguh saat itu hanya kebohongan
yang aku dan kamu buat semata, karena tidak ada kata baik-baik saja saat
menyerah adalah kata akhir untuk saling melepas dan mengikhlaskan. Yang aku
tahu adalah untuk tidak menangisi keadaan, jika memang saat itu adalah
keputusan yang terbaik untuk aku dan kamu.
Rasanya aku ingin menghentikan waktu
sementara, menjadikan detik tak bergerak berganti menit. Rasanya aku ingin angin
berhembus diantara mata kita untuk menjadi alasan air mata menggantikan sesak
yang menghimpit dada. Rasanya aku ingin setiap gerak manusia-manusia itu
berhenti sejenak, hingga aku dapat menyampaikan pesan yang tak dapat diurai
dalam kata. Namun aku manusia biasa, tanpa kekuatan istimewa untuk menahan
perpisahan menjadi nyata.
“Kita
sudah berusaha, memang waktu dan keadaan yang belum berpihak kepada kita,”
bisikku lirih padamu.
“Kamu
berhak untuk bahagia,” ujarmu
Aku hanya membalasnya dengan
senyum. Ku palingkan wajahku pada batas malam yang terpisah pada garis atap
rumah diseberang sana, melemparkan pandangan jauh, dan mengenggam erat tanganmu,
seakan itu waktu terakhirku untuk dapat saling menyapamu dalam genggaman tanpa
suara.
Tak lama wajahmu tertelungkup
pada pundakku. Kamu menahan tanganku yang hendak mengangkat wajahmu. Kamu tenggelam
dalam pundakku semakin dalam dan lama. Tangismu tersekat tak bersuara. Ku usap
kepalamu perlahan, dan lagi-lagi mengatakan kebohongan untuk menenangkanmu,
“sudah, gapapa,
semua akan baik-baik aja, kita masih berteman kan?”
Anggukmu masih dalam pundakku tanpa suara.
Hari itu, lebih tepatnya malam
itu, aku dan kamu saling melambai sebelum kereta membawamu hilang dari
pandanganku. Aku terus melambaikan tangan kepadamu, menahan senyumku tetap
tampak untukmu walau hati lagi-lagi tidak demikian. Ku tetap disana, menahan
lambaian tanganku hingga berakhir menjadi kepalan yang aku hempas pada kekosongan
saat gerbong terakhir pergi dan menghilang dari pandangan.
“ini
semua sudah berakhir?” tanyaku yang aku pun belum memiliki jawabnya.
Kadang aku bertanya-tanya dan
menyalahkan keadaan kenapa aku bertemu denganmu, kenapa keadaan menjadikan bertemu lalu bersama dan kenapa akhir yang kita kira bahagia justru berakhir dengan
sekaan air mata. Namun aku menyadari hadirmu mengajarkanku banyak hal dan
memberikan kenangan rasa yang sungguh bahagia pernah memiliki sosok istimewa
sepertimu.
****
Hari ini aku bertemu denganmu
kembali. Disudut yang biasa aku dan kamu habiskan sore bersama, disana saat ini kamu berada. Sekarang
dirimu bukan sibuk membuatku tertawa, wajah seriusmu menatap layar laptop tak teralihkan
dalam waktu yang lama.
Aku masih memperhatikanmu dari
seberang kamu berada. Sesekali kau melihat kearahku, namun dengan tatapan yang
berbeda. Tak sehangat dulu saat kita bersama. Dinginnya pandanganmu membuatku menyadari,
walau raga kita masih dalam jangkauan untuk berjumpa, namun hati kita sudah
berbeda. Hatimu sudah membeku untukku seperti puncak musim dingin pada bulan
Desember.
“Ais, itu
Aryo kan?” tanya arina.
“Iya,”
jawabku sambil senyum dan tak lepas pandang dari sosok aryo itu.
“Dia
kenapa seperti orang ga kenal gitu ke kita? Padahal dia sempat lihat kita
disini lho,” geram arina
“gapapa Rin,
jika itu membuatnya lebih nyaman. Aku hanya akan menjadi duri pengganggu jika
menghampirinya,”
“aiiisss..
jangan gitu lha,”
“ga
Rin, aku selama ini hanya menghimpitnya dengan tanya, menyiksanya dengan segala
pertanyaan konyol yang sebenarnya bukan mengharap jawaban darinya, melainkan
penghakiman yang aku paksa sebagai nyata. Aku terlalu jahat waktu itu. Aku hanya
fokus pada diriku dan melupakan ia yang punya segudang masalah juga.”
“Ais sayang,
jangan gitu ah,” seru arina sambil menggenggam tanganku erat dan mata
berkaca-kaca.
“ayaaaaaaahhh…” teriakan seorang
gadis cantik dengan rambut panjang terkuncir dua.
Anak itu menghampiri Aryo. Tatap matanya
berubah seketika, begitu hangat dan penuh cinta. Ia sambut gadis itu dalam
pelukan yang begitu erat dan ciuman pada kedua pipi kemerahan bak bakpao itu.
“Bagaimana
hari ini disekolah nak?”
“Aku
senang sekali ayah.. aku main sama teman-temanku…” gadis itu menceritakan harinya
dengan penuh semangat.
Aryo.. hmm maksudku anak ayah itu
pun tak kalah semangat mendengarkan putrinya bercerita. Dipangku anak itu sambil
menghadapkan wajah gadis itu padanya. Tak lama, seorang wanita cantik dengan
senyum manis merekah bersama seorang bayi mungil dalam gendongannya turut
bergabung pada keseruan ayah dan putri itu.
“hai,
sayang!” sapa aryo, hmm maaf maksudku suami wanita itu dan ayah dari dua anak
itu.
Pandangannya tak lagi teralihkan
kemanapun. Matanya sudah dipenuhi kebahagiaan hingga lingkungan sekitar pun tak
mengusik perayaan temu mereka siang itu.
“lihat
rin, dia bahagia walau tanpaku,”
Arina tak berkata, dia memelukku
erat dari samping. Aku tersenyum saat menoleh ia membuat muka sedih yang malah
membuatku ingin tertawa.
“kamu
gapapa ais?” tanyanya agak ragu kepadaku
“gapapalah..
aku senang ia sudah bahagia sekarang…”
… aku senang keputusan ku waktu
itu adalah pilihan yang tepat, karena kini kamu sudah bahagia, walaupun bukan
aku yang menjadi alasannya. Cukup sudah aku mengawal kebahagiaanmu, kini
saatnya aku bahagia juga.
#sabtulis
Komentar
Posting Komentar