Langsung ke konten utama

Sepotong Hati yang Tak Sempat Melengkapi

Banyaknya kesamaan dan tawa yang aku dan kamu miliki dan berbagai rasa yang sempat saling berbagi, membuat aku mengira kamu adalah potongan hati pelengkap milikku. Namun aku lupa satu hal, untuk dapat melengkapi satu sama lain, yang aku butuhkan bukanlah bentuk potongan yang sama, melainkan potongan yang saling menggenapi kekosongan yang aku punya dan begitupun aku yang dapat mengisi kekosongan yang kamu punya. Kita telah mencoba dalam skala waktu yang semakin lama semakin membuat aku dan kamu saling terluka, dalam pemaksaan untuk menyatukan potongan itu. Hingga akhirnya kita menyadari usaha kita lama kelamaan hanya akan merusak potongan hati yang kita punya, entah itu patah, sobek, retak ataupun memar. Semakin kita mencoba, semakin kita melukai satu sama lain hingga rasanya benturan kecil akan membuat retak menjalar dengan rapuhnya untuk saling menggugurkan.

Malam itu, saat tangis antara aku dan kamu saling tertahan. Saat aku dan kamu butuh untuk saling menguatkan dan berkata,

              “Gapapa, it’s okay, jangan sedih,”

Sungguh saat itu hanya kebohongan yang aku dan kamu buat semata, karena tidak ada kata baik-baik saja saat menyerah adalah kata akhir untuk saling melepas dan mengikhlaskan. Yang aku tahu adalah untuk tidak menangisi keadaan, jika memang saat itu adalah keputusan yang terbaik untuk aku dan kamu.

Rasanya aku ingin menghentikan waktu sementara, menjadikan detik tak bergerak berganti menit. Rasanya aku ingin angin berhembus diantara mata kita untuk menjadi alasan air mata menggantikan sesak yang menghimpit dada. Rasanya aku ingin setiap gerak manusia-manusia itu berhenti sejenak, hingga aku dapat menyampaikan pesan yang tak dapat diurai dalam kata. Namun aku manusia biasa, tanpa kekuatan istimewa untuk menahan perpisahan menjadi nyata.

              “Kita sudah berusaha, memang waktu dan keadaan yang belum berpihak kepada kita,” bisikku lirih padamu.

              “Kamu berhak untuk bahagia,” ujarmu

Aku hanya membalasnya dengan senyum. Ku palingkan wajahku pada batas malam yang terpisah pada garis atap rumah diseberang sana, melemparkan pandangan jauh, dan mengenggam erat tanganmu, seakan itu waktu terakhirku untuk dapat saling menyapamu dalam genggaman tanpa suara.

Tak lama wajahmu tertelungkup pada pundakku. Kamu menahan tanganku yang hendak mengangkat wajahmu. Kamu tenggelam dalam pundakku semakin dalam dan lama. Tangismu tersekat tak bersuara. Ku usap kepalamu perlahan, dan lagi-lagi mengatakan kebohongan untuk menenangkanmu,

              “sudah, gapapa, semua akan baik-baik aja, kita masih berteman kan?”

Anggukmu masih dalam pundakku tanpa suara.

Hari itu, lebih tepatnya malam itu, aku dan kamu saling melambai sebelum kereta membawamu hilang dari pandanganku. Aku terus melambaikan tangan kepadamu, menahan senyumku tetap tampak untukmu walau hati lagi-lagi tidak demikian. Ku tetap disana, menahan lambaian tanganku hingga berakhir menjadi kepalan yang aku hempas pada kekosongan saat gerbong terakhir pergi dan menghilang dari pandangan.

              “ini semua sudah berakhir?” tanyaku yang aku pun belum memiliki jawabnya.

Kadang aku bertanya-tanya dan menyalahkan keadaan kenapa aku bertemu denganmu, kenapa keadaan menjadikan bertemu lalu bersama dan kenapa akhir yang kita kira bahagia justru berakhir dengan sekaan air mata. Namun aku menyadari hadirmu mengajarkanku banyak hal dan memberikan kenangan rasa yang sungguh bahagia pernah memiliki sosok istimewa sepertimu.

****

Hari ini aku bertemu denganmu kembali. Disudut yang biasa aku dan kamu habiskan sore bersama, disana saat ini kamu berada. Sekarang dirimu bukan sibuk membuatku tertawa, wajah seriusmu menatap layar laptop tak teralihkan dalam waktu yang lama.

Aku masih memperhatikanmu dari seberang kamu berada. Sesekali kau melihat kearahku, namun dengan tatapan yang berbeda. Tak sehangat dulu saat kita bersama. Dinginnya pandanganmu membuatku menyadari, walau raga kita masih dalam jangkauan untuk berjumpa, namun hati kita sudah berbeda. Hatimu sudah membeku untukku seperti puncak musim dingin pada bulan Desember.

              “Ais, itu Aryo kan?” tanya arina.
              “Iya,” jawabku sambil senyum dan tak lepas pandang dari sosok aryo itu.
              “Dia kenapa seperti orang ga kenal gitu ke kita? Padahal dia sempat lihat kita disini lho,” geram arina
              “gapapa Rin, jika itu membuatnya lebih nyaman. Aku hanya akan menjadi duri pengganggu jika menghampirinya,”
              “aiiisss.. jangan gitu lha,”
             “ga Rin, aku selama ini hanya menghimpitnya dengan tanya, menyiksanya dengan segala pertanyaan konyol yang sebenarnya bukan mengharap jawaban darinya, melainkan penghakiman yang aku paksa sebagai nyata. Aku terlalu jahat waktu itu. Aku hanya fokus pada diriku dan melupakan ia yang punya segudang masalah juga.”
              “Ais sayang, jangan gitu ah,” seru arina sambil menggenggam tanganku erat dan mata berkaca-kaca.
“ayaaaaaaahhh…” teriakan seorang gadis cantik dengan rambut panjang terkuncir dua.

Anak itu menghampiri Aryo. Tatap matanya berubah seketika, begitu hangat dan penuh cinta. Ia sambut gadis itu dalam pelukan yang begitu erat dan ciuman pada kedua pipi kemerahan bak bakpao itu.

              “Bagaimana hari ini disekolah nak?”
        “Aku senang sekali ayah.. aku main sama teman-temanku…” gadis itu menceritakan harinya dengan penuh semangat.

Aryo.. hmm maksudku anak ayah itu pun tak kalah semangat mendengarkan putrinya bercerita. Dipangku anak itu sambil menghadapkan wajah gadis itu padanya. Tak lama, seorang wanita cantik dengan senyum manis merekah bersama seorang bayi mungil dalam gendongannya turut bergabung pada keseruan ayah dan putri itu.

              “hai, sayang!” sapa aryo, hmm maaf maksudku suami wanita itu dan ayah dari dua anak itu.
Pandangannya tak lagi teralihkan kemanapun. Matanya sudah dipenuhi kebahagiaan hingga lingkungan sekitar pun tak mengusik perayaan temu mereka siang itu.
              “lihat rin, dia bahagia walau tanpaku,”
Arina tak berkata, dia memelukku erat dari samping. Aku tersenyum saat menoleh ia membuat muka sedih yang malah membuatku ingin tertawa.
              “kamu gapapa ais?” tanyanya agak ragu kepadaku
              “gapapalah.. aku senang ia sudah bahagia sekarang…”

… aku senang keputusan ku waktu itu adalah pilihan yang tepat, karena kini kamu sudah bahagia, walaupun bukan aku yang menjadi alasannya. Cukup sudah aku mengawal kebahagiaanmu, kini saatnya aku bahagia juga.


#sabtulis




Komentar

Postingan populer dari blog ini

You Don't Need to Be Perfect

"Hey, kamu itu cantik. Ga usah malu atau minder" Buat para cewek nih, ada yang pernah ngomong sendiri di depan kaca ga kayak gini? Atau.. "Kamu ga apa-apa, kamu baik-baik Aja" ngomong gini ke diri sendiri saat sebenernya ya kamu lagi ga baik-baik Aja. Apa kamu akan ngerasa lebih baik dengan membohongi diri sendiri dengan kata-kata bak oase ? Tau ga? Kamu ga akan langsung berubah jadi cantik seperti artis-artis wanita korea yang kulitny sebening susu. Atau kamu ga akan tiba-tiba menjadi lega, dengan berpura-pura beban atau masalah kamu itu sepele atau menipu itu tidak akan membuat kamu patah, walau nyatanya remuk sudah hatimu itu. Kalau ga cantik emang kenapa? Masalah? Ga cantik bukan dosa. Selama masih ada 2 Mata, 2 hidung, 2 telinga dan 1 mulut, udah Alhamdulillah banget bukan? Ga ada dalilnya ga cantik masuk neraka. Begitupun hidup ga harus selalu tampak bahagia dan ketawa. It's okay to feel not okay dear. Ga ada gunanya menghindar dari masalah dan memaksa dir...

Bersyukur

Syukur.. Kata yang begitu singkat dan sederhana untuk diucapkan namun punya pemaknaan yang dalam dan kadang kala tidak sesedarhana dalam penerapannya. Kamu tahu bahwa bersyukur dapat menyederhanakan rumitnya permasalahan yang menyempitkan hati? Namun sayangnya kodrat manusia sebagai pengeluh sering memburamkan syukur sehingga tak terlihat pandangan akal. Syukur pun bukan hanya saat didatangkan hadiah berlimpah atau kemenangan besar. Namun syukur baiknya ada saat semua terasa sempit, dan ini akan terasa sangat nikmat. Seperti pagi ini, saat aku lupa membawa uang untuk ongkos angkot, dan tanpa diduga ada uang tersisa dengan nominal sejumlah ongkos angkot itu, tidak kurang, tidak lebih. Percayalah selalu ada sela pada keluhmu untuk bersyukur. Karena bersyukur akan melapangkan hatimu dan menjadikannya samudera luas yang tak akan terusik oleh riak tangan manusia. Dan kejadian pagi ini juga membuktikan bahwa Allah telah menjamin rezeki hambaNya, tidak kurang dan tidak lebih, sesuai ke...

Manusia Namanya

Kamu tau ga,  kalau Allah berulang kali menyelamatkanmu Menarik tanganmu dari tepi jurang Dan mengangkatmu erat dalam keselamatan Allah pun sering menyembuhkanmu Menyusun kepingan jiwamu yang remuk Dan membingkainya kembali  Dengan penuh kasih dan sayangNya Namun, kita, manusia, terlalu bodoh Terlalu bodoh untuk menjatuhkan diri, Meremukan diri sendiri setelah berulang diselamatkan Setelah jatuh, patah dan Tak berdaya.. Kamu menyeru dari dasar jurang dalam, Lagi gelap dengan penuh Luka.. "Ya Rabb, tolong aku"