Aku tenggelam dalam kisah cinta yang penuh intrik dan dilema. Sesaat kau membuatku terpana, namun beberapa saat kau membuatku bagai orang yang paling hina. Senyummu itu, yang selalu aku kagumi setiap menatapmu, yang sanggup melelehkan hatiku dan juga membakar jantungku.
Kamu tahu.. aku bukanlah orang yang bodoh, namun kamu selalu berhasil membodohiku dengan kata-kata sederhanamu yang membuatku hanya mempunyai satu dunia, yaitu kamu. Dan saat kamu pergi, apalagi yang aku punya selain mati?
Kutemukan kembali selembar kertas yang kutulis puluhan tahun silam. Kertas yang kini terkoyak lapuk oleh waktu. Kertas saksi hidupku pengingat masa laluku yang tak selalu ingin ku ingat. Dan kini bukanlah air mata seperti dulu saat aku menulis kata-kata itu. Sesekali renungan dan cekik tawa yang keluar dari mulutku ini. Betapa aku terjebak dalam perasaan dan kata-kata yang hampir membuat ku gila.
"Kenapa pak? Kok tertawa gitu?" Tanya wanita yang tetap cantik diusia senjanya, istriku.
"Ini bu coba baca," ku berikan secarik kertas itu. Istriku heran.
"Apa ini?" Tanyanya bingung sambil membuka kertas itu hati-hati.
"Ini bukti kalau bapak dulu pernah jadi juara penulis puisi tingkat RT bu," jawabku sambil terkekeh.
Istriku membacanya dengan seksama. Sesekali dahinya mengernyit membaca tiap kata yang aku sendiri malu membacanya. Dan dia pun mengakhiri kata dalam kertas itu dengan tatapan sinis kepadaku.
"Pasti ini buat mantan pacar bapak dulu ya? Romantis banget, ke aku bapak ndak pernah buatin puisi kayak gitu,huh," katanya sambil membuang muka dariku.
"Pasti bapak cinta mati dengan wanita itu ya, sampai-sampai membuat puisi seperti ndak pingin pisah dari dia itu,"
Aku semakin tertawa terbahak-bahak.
"Memang wanita itu paling cantik sekaligus paling mengerikan saat cemburu ya," kataku sambil menggoda menatap matanya.
"Ihh bapak.. " jawabnya malu.
"Aku memang cinta mati bu dengan dia itu, yaa cintaku sudah mati padanya. Jika cintaku tidak patah dan mati darinya, bagaimana aku bisa menemukan Ibu yang dapat membuatku hidup? Ibu yang ga pernah membuat hati bapak meleleh hingga hilang tak berbentuk, namun ibu memeluk hati bapak dengan erat dan nyaman, hingga tak merubah bentuk dan terus tumbuh tak terganggu dari patahan."
Dia masih membuang muka rupanya. Aku tak tahu dia tak marah atau cemburu lagi, hanya gengsi saja untuk memulai tersenyum kembali.
"Yasudah buatkan puisi buat aku," rajuknya.
"Bu, ga ada kata yang pantas yang bisa menggambarkan Ibu dimata ku, ibu terlalu sempurna untuk digambarkan dengan kata. Setiap detak dan nafas ku, selalu berdzikir mengagungkan Allah, berterima kasih aku dikasih izin menculik salah seorang bidadarinya duluan ke dunia. Aku berdoa dan selalu berharap bisa mengembalikan bidadarinya ke surga lagi kelak. Dan aku akan menyerahkan diriku untuk ditawan disana sebagai penebus khilafku, bersama bidadari itu, yaitu ibu."
Istriku meraih tanganku dengan mencium dalam-dalam. Isaknya bersama derai air mata memenuhi tanganku. Aku tersenyum dan mengusap kepalanya.
"Ibu sayang bapak selalu sampai surga nanti."
Komentar
Posting Komentar