1998, tahun dengan variasi momentum dalam perjalanan Indonesia
Saat itu, tahun 1998, tak ada terlintas di pemahamanku betapa banyak peristiwa sejarah yang banyak mengubah wajah Indonesia dulu dan kini. Pada masa itu, aku seorang anak 6 tahun yang hanya merisaukan apakah bisa masuk SD pada tahun itu atau tidak. Menjadi bagian dari sejarah, hmm tidak, lebih tepatnya aku ada saat sejarah itu terjadi, walau namaku tentu tak akan menjadi bagian dari literatur perubahan bangsa.
Sekelumit kisah sejarah yang belum pernah membuatku merasa tergerak secara emosional. Bukan marah atau benci. Tapi.. aku baru menyadari dan memutar imajinasi ulang bagaimana saat itu terjadi. Berawal dari A. Makmur Makka, Mr. Crack dari Parepare, buku yang berkisah tentang Bapak BJ Habibie.
Ya, Pak Habibie adalah sosok yang mempunyai peran besar, peralihan orde baru menjadi reformasi. Dan aku pun baru menyadari, bahwa periode ini, periode pengisian kekuasaan yang begitu singkat, namun sesuai nama kabinet yang dibentuk oleh Pak Habibie, yaitu Reformasi Pembangunan, benar-benar terjadi perombakan bentuk, formasi ulang di berbagai bidang demi menyelamatkan titik genting bagi Bangsa Indonesia. Sistem Politik, Tatanan perundang-undangan, perekonomian hingga pendidikan. Pernah dengar istilah BOS atau Bantuan Operasional Sekolah? ya dari sinilah program itu bermulai. Selain itu periode ini adalah awal dari kebebasan pers dimana pada periode sebelumnya dibredel dan dicabut izinnya. Pada masa ini pula tahanan dan narapidana politik ada yang mendapatkan kebebasan. Aku tak pernah sangka ada sejarah besar dan begitu padat pada masa dimana aku telah hidup.
Namun jika kita menarik sedikit kebelakang, momen dimana Pak Soeharto, Presiden Indonesia Ke-2 yang telah memerintah selama 32 tahun, dengan pernyataan dari dirinya sendiri mengundurkan diri dari posisinya sebagai presiden. Belum pernah seterharu ini aku membaca sejarah. Pengabdiannya diakhiri dengan desakan, demo dan chaos dari berbagai pihak menuntutnya untuk mundur. Dan melalui cerita dari buku ini, getar wibawa dan karismanya masih dapat aku rasakan pada setiap kalimat dan makna yang beliau katakan. Tentu tidak dapat menyalahkan pihak-pihak bagai hitam dan putih. Ada terlalu banyak rantai dan benang kusut yang belum sempat aku urai.
Dari segala peristiwa dan desakan untuk mundurnya pemimpin, memanglah sudah garis takdirnya seperti itu. Perubahan dan perkembangan rakyat yang dipimpin yang semakin kritis perlu beriringan dengan gaya kepemimpinan dari para pemimpin abdi negara. Bukan merubah nilai dasar yang berlaku, namun suatu gaya yang dapat merangkul berbagai elemen dan melepas kejenuhan karena periode memimpin yang lama.
Ya, memang itu adalah saatnya untuk perubahan dan regenerasi. Dan menjadi cerminan yang memuat catatan bagi pemimpin masa depan untuk terus memperbaiki diri dalam mengemban amanah.
Lalu aku jadi teringat pemimpin sebelumnya, Pak Soekarno, Sang Proklamator, yang mengakhiri masa kepemimpinan dengan haru dan keterasingan. Dan saat maju pada beberapa dekade selanjutnya, Presiden Indonesia yang kerap disapa GusDur, atau Bapak KH. Abdurrahman Wahid, yang meninggalkan istana dengan pakaian sederhananya. Aku jadi merasa ini semacam pola yang terjadi dan berulang beberapa kali pada warna-warni politik Indonesia.
Lalu.. apakah pola ini akan terulang? Atau ada pola baru yang akan tercipta?
Sudah saatnya Bangsa Indonesia sadar politik secara cerdas. Bukan berlomba untuk menduduki tahta kekuasaan dengan berbagai intrik dan serangan, namun berlomba untuk menyejahterakan rakyat dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri
(Jika ada pernyataan sejarah yang tak sesuai mohon untuk diingatkan secara personal 😊)
Komentar
Posting Komentar