rasanya.. ya sedih, kenapa hal itu harus dikeluarkan disaat emosiku sebenarnya juga sedang menggembung dan siap meledak. Kenapa pas banget saat aku mau pergi survey? Dalam hatiku ga bisa ditunda ya sampe aku pulang survey? Sebelum dia menyatakan untuk hidup masing-masing dan saling tidak ketergantungan, aku sudah berpikir kita memang sudah seharusnya mulai belajar menjauh. Tapi.. aku tidak menyangka ini terjadi seperti bom. Aku akui aku overreacting, overthinking saat dia mulai menyinggungku dengan kata-katanya. Saat dia bilang ga mau di gitu-gitu lagi karena kata-kataku pada malam sebelumnya bilang aku sedih saat dia lama merespon dan responnya ga nyambung. Seperti aku yang berusaha untuk ada dan menanggapi kata-katanya, dan aku merasa apa yang aku katakan itu bagai angin lalu, yang mostly saat aku mengutarakan sesuatu dia malah membuka topik yang lain tentangnya. Aku merasa tidak dilihat ada. Iya, memang timing yang tidak tepat kurasa sampai semuanya meledak seperti itu. Dan juga
Aku.. lebih suka mendengar kata “menyayangi diri sendiri” dibanding “mengasihani diri sendiri”. Jika kita membandingkan kesulitan, kesusahan, kenestapaan, penderitaan dan merasa kitalah yang paling merana dibanding orang lainnya serta saling berbantah untuk memenangkan kesengsaraan.. apa yang akan kita dapatkan? Apa yang akan kita menangkan? Pemenang itu mendapatkan hadiah yang membuat bahagia, bukan mendapatkan kesusahan yang paling dalam. Masing-masing kita berjalan dalam rel kehidupan berbeda. Tentu, kalau sama kita akan bertumbukan. Ada yang seiring berdampingan, ada yang berbelok dan menjauh, adapula jalur yang merapat. Tujuan kita beda-beda, jadi tak perlu risau jika stasiun pemberhentian kita berbeda. Fokus dengan tujuan tentu bagus, agar kita tidak tersesat ataupun terjatuh dijalan. Namun berbahagia dengan berkilo-kilometer yang sudah kita lewati pun sangat menyenangkan. Mengapa kita menginginkan sesuatu yang belum kita miliki, jika yang kita miliki melebihi apa yang kita ingi